Dalam sebuah rapat
pengurus gereja yang membahas program gereja setahun mendatang dan pembentukan
pengurus baru. Pertemuan itu bertujuan untuk mencapai mufakat dan keputusan
bulat demi terlaksananya sebuah program gereja yang lebih baik. Pertemuan yang
mulanya berjalan lancar dan baik penuh kekeluargaan, lama kelamaan menjadi
terasa panas karena adanya perbedaan pendapat. Dan keadaan itu menjadi semakin
buruk ketika beberapa majelis bersi-tegang. Seorang majelis bahkan meninggalkan
ruang pertemuan itu setelah sebelumnya menggebrak meja dengan marah.
Pertanyaannya sekarang, mengapa
mesti bertengkar? Mengapa mesti perang urat syaraf atau adu otot bila terjadi
perbedaan pendapat? Apakah tidak ada lagi ungkapan ‘berkepala dingin’ meskipun
hati panas? Apakah gereja akan menjadi semakin maju dan berkembang? Bukankah
pertengkaran dan perkelahian justru merusak persatuan yang sangat dibutuhkan
dalam membangun sebuah komunitas yang kuat?
Tuhan Yesus pernah berkata kepada
para Farisi ketika Ia dituduh mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, bahwa
sebuah kerajaan tidak akan kokoh bila di dalamnya terjadi perpecahan. Ya,
memang itu benar! Gerejapun tidak akan kuat bila jemaatnya terpecah-pecah
menjadi kelompok-kelompok. Keadaan ini akan menjadi semakin buruk bila ternyata
itu dipromotori oleh para pemimpin gereja itu sendiri. Sebagian mulai berkata
aku kelompok si A, yang lain berkata aku kelompok si B, yang lain lagi berkata
aku kelompok Tuhan Yesus. Benarkah Tuhan Yesus menghendaki perpecahan?
Perhatikan kedua belas rasul yang
dipilih Tuhan. Perhatikan dengan seksama latar belakang mereka sebelum menjadi
murid Yesus. Ada pemuda nelayan, ada pemuda biasa, ada orang Zelot dan ada
pemungut cukai. Bayangkan bila itu terjadi sekarang. Dalam sebuah kelas ada
tiga golongan yang saling bermusuhan. Kaum jelata benci kepada pemungut cukai
yang sering memeras mereka, mereka juga benci kepada orang Zelot yang sering
melakukan demonstrasi (maksudnya: pemberontakan), dan orang Zelot pun memusuhi
pemungut cukai yang sering menimbulkan kesengsaraan pada rakyat. Bukankah
kelompok kecil yang dipimpin Yesus ini rawan konflik? Tetapi nyatanya tidak
demikian.
Kedua belas murid itu bisa berjalan
bersama-sama, bekerja bersama-sama, makan bersama-sama dan tidur bersama-sama
dengan gurunya. Walaupun akhirnya Yudas Iskariot harus meninggalkan mereka,
tetapi paling tidak Yudas pernah sedikit berjasa mengatur keuangan dan konsumsi
mereka selama tiga tahun.
Kita ini hanya alat di tangan Tuhan.
Tuhan yang berhak menentukan kita dipakai atau tidak. Kita tidak boleh merasa
memiliki kepentingan untuk keberhasilan dan kemegahan gereja di mana kita
beribadah. Tuhan berkenan, maka Ia akan meninggikan kita, tetapi bila Ia tidak
berkenan, maka Ia akan merendahkan kita. Seberapa kerasnya kita berusaha, itu
tidak akan berhasil.
Mengapa kita mesti bertengkar?
Mengapa kita mesti bersi-tegang bila apa yang kita lakukan ini adalah untuk
Tuhan. Berkenankah Tuhan pada pelayanan kita bila Ia menjumpai anak-anak-Nya
saling membenci? Berkenankah Ia bila menjumpai para pelayan-Nya saling memendam
rasa tidak suka satu sama lain?
Camkan ini! Kita tidak melayani
manusia. Kita melayani Allah. Pelayanan yang kita lakukan berdasarkan ketulusan
hati dan kasih yang mendalam. Yesus mengatakan bila kita tidak bisa saling
mengasihi, maka kasih Allah tidak ada di dalam kita. Sebab bila kita tidak bisa
mengasihi sesama kita yang kelihatan, bagaimana mungkin kita berkata mengasihi
Allah yang tidak kelihatan? (bd 1 Yoh 4:20)
Jadi, bila kita telah menyadarinya,
masihkah kita ingin bertengkar? Masihkah kita akan saling bermusuhan dan saling
menyalahkan? Bukankah seharusnya kita saling membantu, bahu-membahu mengerjakan
pekerjaan Tuhan dan membangun kerajaan-Nya di atas muka bumi ini? yoed's
EmoticonEmoticon