Kemenangan petenis muda Jepang, Naomi Osaka,
di Amerika Terbuka, di Arthur Ashe Stadium, New York, Ahad pekan silam.
Gadis berusia 20 tahun itu menghentikan mimpi Serena
Williams, pemegang 23 kali gelar di turnamen grand slam, yang menjadi idolanya.
Sedikitnya ada dua kemenangan yang diukir gadis penyuka
permainan Pokemon itu.
PERTAMA, kemenangan melawan Williams dengan dua set
langsung, yakni 6-2 dan 6-4.
Ia menjadi petenis Jepang pertama yang mengukir gelar di
turnamen grand slam di nomor tunggal.
Dua tahun lalu Williams pernah memuji petenis Jepang itu
bakal 'berbahaya', dan ia betul-betul merasakan 'bahaya' itu.
Kemenangan Osaka menjadi penghiburan besar bagi rakyat
Jepang yang tengah berduka dihantam bencana berturut-turut selama sepekan,
yakni gempa bermagnitudo 6,7 skala Richter di Hokkaido dan Topan Jebi di bagian
barat dan tengah Jepang.
Puluhan orang meninggal, satu juta warga mengungsi.
"Terima kasih sudah memberikan energi dan inspirasi
kepada semua warga Jepang,"
puji Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe lewat akun
Twitter-nya.
Jepang, bangsa yang punya banyak prestasi di bidang
industri, ternyata butuh kebanggaan dan penguat diri dari olahraga.
KEDUA, kemenangan melawan publik Amerika yang tak mau
petenis pujaannya kalah.
Terlebih ada drama ketegangan antara Williams dan wasit,
Carlos Ramos, yang memimpin pertandingan.
Serena menuding Ramos berbuat culas.
Ia membanting raketnya hingga reyot.
Inilah malapetaka baginya. Wasit pun memberikan poin pada Osaka.
Adegan itu saja sudah menguras emosi, tentu juga emosi
penonton.
Ada lontaran cemooh yang riuh kepada wasit.
Namun, Osaka tetap tenang dan akhirnya menang.
Namun, tak ada ekspresi kelewat riang sang pemenang yang
kontras dengan kesedihan sang pecundang.
Selama upacara penyerahan piala, ia kerap menutup wajah
dengan topi karena tangisnya yang tak berhenti.
Ia terus menunduk.
Sesekali menatap sejenak ke arah penonton yang riuh.
Ia merasa telah menyakiti penonton dan sang idolanya.
"Saya minta maaf.
Saya tahu bahwa semua orang bersorak untuk Williams dan saya
menyesal bahwa itu harus berakhir seperti ini.
Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih yang telah
menonton pertandingan.
Terima kasih,"
ujar Osaka terbata-bata.
Ia juga canggung ketika menerima piala, seolah ia mengatakan
piala itu lebih pantas untuk Williams.
Ada banyak penonton yang berderai air mata.
Untunglah Williams yang impulsif di lapangan jadi rendah
hati seusai permainan.
Ia terus menguatkan juniornya yang sulit berkata-kata.
Keduanya menangis dan saling menguatkan.
Jadilah upacara penyerahan piala pemandangan penuh sedu
sedan.
Dalam konferensi pers, berkali-kali pula Naomi mengucapkan
terima kasih kepada Serena, yang dicintainya.
Ketulusan Osaka itulah yang disebut warganet,
"Dia orang
Jepang dan membuat Jepang bangga."
Itulah nilai-nilai Jepang yang gigih dan pandai dalam
pengendalian diri.
Padahal, sejak sebelum sekolah dasar Naomi telah pindah ke
‘Negeri Barack Obama’ itu memang untuk belajar tenis.
Namun, nilai-nilai Jepang tetap melekat dan hidup kepada
Naomi.
Inilah identitas Jepang.
Inilah kultur Jepang.
Peristiwa lainnya ialah Piala Dunia 2018 di Rusia, medio
tahun ini.
Langkah Jepang memang terhenti di babak 16 besar, tetapi
mereka menang di hati penonton.
Setiap timnas Jepang seusai laga, para penonton Jepang bergerak menjadi tim kebersihan.
Dengan membawa kantong sampah berukuran besar, mereka
bergerak serentak memunguti sampah-sampah yang berserak-serak.
Tak segan pula mereka menepuk bahu penonton yang jorok
membuang sampah untuk memungutnya kembali.
Mereka menunjukkan kebersihan ialah hal dasar yang melekat
pada masyarakat Jepang.
Di negeri itu, kebersihan menjadi satu paket dengan budaya
jujur, budaya malu, kerja keras, budaya baca, dan budaya berdisiplin.
Jiwa gotong royong mereka tak lekang oleh waktu.
Mereka bangsa tak pernah lupa pada 'bumi' meski kemajuan
teknologi telah 'menerbangkannya ke langit tinggi'.
Seperti ditulis Francis Fukuyama,
Jepang menjadi salah satu bangsa selain Jerman, yang tingkat
kepercayaan antarmasyarakatnya amat tinggi (high trust society).
Padahal, sejak kecil ia telah berpindah ke Amerika untuk
belajar tenis, tetapi nilai-nilai pengendalian diri, kesantunan, dan
penghargaan pada orang lain tak pudar.
Itulah nilai-nilai Jepang.
Tiongkok pun berterus terang, dalam menggapai kemajuan hari
ini, banyak belajar pengendalian diri pada Jepang.
Lalu, ke mana Indonesia yang sejatinya menjadi sumber
banyak kearifan dan keunggulan berbasis masyarakat? Sayang, hanya karena perbedaan pilihan politik, kita saling
menyerang dengan brutal.
Itulah wajah kita di media sosial.
Demi kepentingan politik, fakta ditertawakan dan kebenaran
diinjak-injak.
Yang terpenting menyeranglah terlebih dahulu,
secepat-cepatnya, sebanyak-banyaknya, dan senyaring-nyaringnya.
Wajah-wajah para pembuat keonaran itu kerap
terbayang-bayang.
Wajah-wajah yang sesungguhnya bukan kita.
sumber: Grup WA
EmoticonEmoticon