BUKAN ORANGNYA, TAPI BAJUNYA ???


Seorang pengemis yang kelaparan sedang berdiri di depan sebuah restoran, berharap ada seorang dermawan yang memberinya makan. Di dalam restoran itu ada seorang langganan yang sedang memesan makanan. Badannya sedikit tambun mengenakan setelan safari. Ia adalah seorang pejabat negeri yang cukup dikagumi.

            Melihat pengemis yang berdiri di luar itu, pak pejabat merasa iba hatinya. Ia segera memanggilnya dan mengajaknya makan. Namun pemilik restoran itu melarangnya, bahkan mengusirnya. Walaupun pak pejabat itu sudah berusaha meminta, tetapi pemilik restoran itu tetap berkeras melarangnya dengan alasan akan membuat hilang selera makan seluruh langganannya. Akhirnya pak pejabat itu tidak jadi makan. Ia keluar laru menghampiri sang pengemis dan mengajaknya naik Toyota Crown-nya.
            Sekitar satu kilometer dari restoran itu pak pejabat mengajak sang pengemis bertukar baju. Pengemis itu disuruhnya memakai setelan safari yang tentu saja kebesaran karena tubuhnya kurus, sementara pak pejabat memakai pakaian pengemis yang sudah lusuh dan kumal. Ia menyuruh sopirnya mengantarkan pengemis itu kembali ke restoran dan tentu saja pemilik restoran itu langsung mempersilakannya masuk dan menyediakan hidangan yang ia pesan. Sesaat kemudian pak pejabat pun datang untuk memesan makanan di restoran itu dan tentu saja ia pun diusir oleh pemilik restoran itu seperti pengemis-pengemis lainnya.
            Saya akhiri cerita ini sampai di sini dan mengajak kita berefleksi sejenak. Anda pasti bertanya, apa yang hendak saya sampaikan dengan ilustrasi cerita di atas? Begini, kadangkala atau seringkali (kalau bisa dikatakan demikian) manusia itu hanya melihat yang di luar saja, hanya penampilannya saja, lebih tepatnya. Dan kita, gereja Tuhan, pengurus gereja, juga sering melakukan ‘tradisi’ ini. Menyambut hangat dan manis orang-orang memakai ‘setelan safari’ seperti pak pejabat tadi, tetapi ‘dingin’ dan acuh kepada orang-orang yang memakai pakaian ‘kumal’ seperti sang pengemis. Saya sudah sering melihat faktanya, lha wong saya pernah mengalaminya. Waktu itu saya diundang mengadakan KKR Natal di sebuah gereja.
            Saya datang mengenakan baju batik, bukan jas. Panitia sekedar menyalami dan membiarkan saya mencari tempat duduk sendiri dan saya langsung memilih tempat paling belakang. Kebetulan ketua panitia yang kenal saya datang terlambat karena beberapa urusan. Begitu tiba waktu renungan, kebetulan juga ketua panitia datang dan langsung menyambut saya dengan hangat dan mempersilakan saya naik ke mimbar. Saya tahu panitia yang lain pasti diomeli oleh ketua panitia karena tidak mempersilakan saya duduk di kursi ‘khusus’ yang sudah disediakan untuk pembicara KKR. Begitu pulang mereka minta maaf, saya hanya tersenyum. “Itu sudah biasa,” kata saya.
            Manusia memang cenderung berbuat itu, tetapi Firman Tuhan dalam Yakobus 2:1-9 menasihatkan kepada kita supaya kita tidak ‘memandang muka’ apalagi dalam perkumpulan jemaat, sebab itu adalah kejahatan di mata Allah. Sebagaimana Tuhan Yesus menyambut semua orang (terutama orang lemah dan menderita), seharusnya kita juga bersikap demikian. Kita harus “welcome” kepada semua orang. Kaya atau miskin, cantik, tampan, atau biasa saja, langsing atau gemuk, tinggi atau pendek, berpakaian bagus atau kusam, semua kita sambut dengan hangat. Itulah yang menyukakan hati Allah. Sebab bila kita mengabaikan “salah satu saudara kita yang paling hina ini” sama halnya kita telah mengabaikan Tuhan (bnd Mat 25:45).
            Jadi, marilah kita memandang bajunya, eh maaf, bukan bajunya tetapi orangnya (jiwanya) bagi Tuhan. Amin?***


EmoticonEmoticon