Seorang pengemis yang kelaparan sedang berdiri di depan sebuah restoran, berharap ada seorang dermawan yang memberinya makan. Di dalam restoran itu ada seorang langganan yang sedang memesan makanan. Badannya sedikit tambun mengenakan setelan safari. Ia adalah seorang pejabat negeri yang cukup dikagumi.
Melihat
pengemis yang berdiri di luar itu, pak pejabat merasa iba hatinya. Ia segera
memanggilnya dan mengajaknya makan. Namun pemilik restoran itu melarangnya,
bahkan mengusirnya. Walaupun pak pejabat itu sudah berusaha meminta, tetapi
pemilik restoran itu tetap berkeras melarangnya dengan alasan akan membuat
hilang selera makan seluruh langganannya. Akhirnya pak pejabat itu tidak jadi
makan. Ia keluar laru menghampiri sang pengemis dan mengajaknya naik Toyota Crown-nya.
Sekitar satu
kilometer dari restoran itu pak pejabat mengajak sang pengemis bertukar baju.
Pengemis itu disuruhnya memakai setelan safari yang tentu saja kebesaran karena
tubuhnya kurus, sementara pak pejabat memakai pakaian pengemis yang sudah lusuh
dan kumal. Ia menyuruh sopirnya mengantarkan pengemis itu kembali ke restoran
dan tentu saja pemilik restoran itu langsung mempersilakannya masuk dan
menyediakan hidangan yang ia pesan. Sesaat kemudian pak pejabat pun datang
untuk memesan makanan di restoran itu dan tentu saja ia pun diusir oleh pemilik
restoran itu seperti pengemis-pengemis lainnya.
Saya akhiri
cerita ini sampai di sini dan mengajak kita berefleksi sejenak. Anda pasti
bertanya, apa yang hendak saya sampaikan dengan ilustrasi cerita di atas?
Begini, kadangkala atau seringkali (kalau bisa dikatakan demikian) manusia itu
hanya melihat yang di luar saja, hanya penampilannya saja, lebih tepatnya. Dan
kita, gereja Tuhan, pengurus gereja, juga sering melakukan ‘tradisi’ ini.
Menyambut hangat dan manis orang-orang memakai ‘setelan safari’ seperti pak
pejabat tadi, tetapi ‘dingin’ dan acuh kepada orang-orang yang memakai pakaian
‘kumal’ seperti sang pengemis. Saya sudah sering melihat faktanya, lha wong saya pernah mengalaminya. Waktu
itu saya diundang mengadakan KKR Natal di sebuah gereja.
Saya datang
mengenakan baju batik, bukan jas. Panitia sekedar menyalami dan membiarkan saya
mencari tempat duduk sendiri dan saya langsung memilih tempat paling belakang.
Kebetulan ketua panitia yang kenal saya datang terlambat karena beberapa
urusan. Begitu tiba waktu renungan, kebetulan juga ketua panitia datang dan
langsung menyambut saya dengan hangat dan mempersilakan saya naik ke mimbar.
Saya tahu panitia yang lain pasti diomeli oleh ketua panitia karena tidak
mempersilakan saya duduk di kursi ‘khusus’ yang sudah disediakan untuk pembicara
KKR. Begitu pulang mereka minta maaf, saya hanya tersenyum. “Itu sudah biasa,”
kata saya.
Manusia
memang cenderung berbuat itu, tetapi Firman Tuhan dalam Yakobus 2:1-9
menasihatkan kepada kita supaya kita tidak ‘memandang muka’ apalagi dalam
perkumpulan jemaat, sebab itu adalah kejahatan di mata Allah. Sebagaimana Tuhan
Yesus menyambut semua orang (terutama orang lemah dan menderita), seharusnya
kita juga bersikap demikian. Kita harus “welcome”
kepada semua orang. Kaya atau miskin, cantik, tampan, atau biasa saja, langsing
atau gemuk, tinggi atau pendek, berpakaian bagus atau kusam, semua kita sambut
dengan hangat. Itulah yang menyukakan hati Allah. Sebab bila kita mengabaikan
“salah satu saudara kita yang paling hina ini” sama halnya kita telah mengabaikan
Tuhan (bnd Mat 25:45).
Jadi,
marilah kita memandang bajunya, eh maaf,
bukan bajunya tetapi orangnya (jiwanya) bagi Tuhan. Amin?***
EmoticonEmoticon