Pemimpin yang sederhana pada zaman sekarang
ternyata tidak mudah ditemukan. Coba kita perhatikan para pemimpin di negara
kita, entah itu yang duduk di parlemen, kabinet dan pejabat tinggi lainnya,
berapa banyak yang bisa dijadikan teladan seorang pemimpin yang sederhana?
Padahal kalau diperhatikan kehidupannya dahulu sebelum menjabat sebagai
pimpinan, selalu menunjukkan hidup yang sederhana, bahkan ketika berkampanye
dengan gencar mengkritik para pejabat yang hidup mewah dan menyalahgunakan uang
negara. Tetapi apa yang terjadi pada saat ia berkesempatan duduk di kursi
jabatan yang ‘empuk’ ? Ia menjadi lupa.
Ketika mobil
Kijangnya diganti dengan Corola, ia lupa pernah mengkritik mobil mewah yang
dikendarai para anggota dewan. Ketika jas ‘kelas
kaki lima’ berganti dengan jas ‘kelas
Sogo’ ia mulai lupa untuk melihat ke bawah. Ketika gaji yang hanya ratusan
ribu berganti puluhan juta, ia semakin ‘kemaruk’
(serakah: red). Itu saja belum cukup. Ia mulai menggunakan fasilitas pendidikan
gratis untuk melanjutkan S1-nya yang pernah mandek,
padahal seharusnya dana itu diberikan kepada anak bangsa yang tidak mampu
membiayai uang sekolah. Bukan cuma itu, ia mulai suka jalan-jalan ke luar
negeri yang tentu saja memakai anggaran negara. Ia menjadi lupa, lupa dan lupa.
Lupa bagaimana dulu ia pernah ‘vocal’ dan
jago membuat sindiran. Bahkan sekarang ia lupa seperti apa rasanya malu.
Bayangkan membuat ‘kamar kecil’ yang seharusnya hanya menghabiskan beberapa
juta rupiah saja, bisa menjadi ratusan juta. Bukankah benar memang sudah lupa
rasanya malu? Yang ada dalam benaknya hanya kata “mumpung.” Mumpung aku di
atas, mumpung aku bisa, mumpung ada yang dimakan, dst.
Hal serupa
bisa saja terjadi dalam lingkungan gereja. Kemerosotan moral seperti ini pun
tidak jarang kita jumpai pada jajaran kepemimpinan gereja. Pengerja yang dulu
nampak kampungan dan selalu mengkritik gembalanya karena memiliki gaya hidup
yang menurutnya tidak sepatutnya dimiliki oleh hamba Tuhan, sekarang berbalik
90 derajat. Ia mulai senang memakai jas yang licin, senang menggenggam
ponselnya dan menyaringkan suaranya di mana saja. Ironis sekali bukan?
“Hamba Tuhan
kecil” ini mulai berlagak seperti “hamba Tuhan besar”. Apalagi bila gembala
seniornya mulai memberi kepercayaan untuk menggantikan posisinya dalam urusan
harian di gereja, karena gembala senior terlalu sibuk dengan pelayanan ke luar.
Dia mulai menjadi ‘bos kecil’ yang berkuasa. Ia mulai memerintah dengan
semena-mena para pekerja yunior. Kemana-mana naik mobil gereja dengan sopir
pribadi. Ia mulai suka membentak bila urusan gereja tidak beres, berlaku tidak
adil dan mulai mensejahterakan dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Itu
sebabnya seorang pekerja mulai menyindir dengan gaya lagu pujian Tuhan
berkuasa, “Dia berkuasa... istrinya bersuka, anaknya bersuka....pekerja
sengsara...” Ia lupa bagaimana susahnya ketika ia dulu masih menjadi pekerja
yang kampungan. Ia marah ketika dikritik, dan melupakan bahwa dulu ia juga suka
mengkritik.
Saya tidak
menunjuk kepada orang tertentu, tetapi kita semua memiliki kecenderungan untuk
memanfaatkan ‘rasa nikmat’ yang
dianugerahkan Allah kepada kita. Kita lebih cenderung menikmatinya sendiri dan
menumpuk rasa nikmat itu dengan kemaruk daripada membaginya dengan orang lain
yang pernah mengalami kesengsaraan seperti kita. Ketika kita di bawah, kita
memprotes para pemimpin yang berada di atas dengan gaya hidup yang kita nilai
tidak memberi teladan. Namun ketika kita di atas, kita cenderung melihat ke
atas, tidak memperhatikan keadaan diri kita apalagi orang-orang yang berada di
bawah kita. Satu hal lagi, setiap kita memiliki kecenderungan untuk
me-nunjukkan kekuatan kita dengan menindas orang lain yang lebih lemah.
Ingatlah,
bila kita diberi kesempatan oleh Tuhan menduduki suatu jabatan atau menjadi
seorang pemimpin, entah itu dalam dunia bisnis, kenegaraan atau pelayanan
gerejani, jangan lupa diri. Jangan menjadi sombong dan lupa daratan. Jangan
gunakan “aji mumpung” untuk
memperkaya diri atau membangun kemegahan nama diri tanpa memperdulikan kehendak
Allah atas diri kita. Jangan menjadi sewenang-wenang dan berlaku tidak adil.
Semua itu tidak berkenan di mata Tuhan. Semua itu adalah penyebab doa kita
tidak diperhatikan Allah, puasa dan ibadah kita sia-sia.
Perhatikan
Firman Tuhan dalam Yesaya 58, ada banyak kesalahan yang terjadi sehingga doa
puasa umat Allah tidak berkenan kepada Allah. Ibadah kita pun tidak akan
berkenan kepada Allah bila kita tidak bertindak sesuai dengan Firman-Nya.
Perhatikan juga Yakobus 5:1-6, bukankah itu sudah cukup untuk membuat kita
tidak menggunakan kekayaan, kekuasaan dan anugerah yang Tuhan berikan dengan
semau kita sendiri? Kita tidak boleh berlaku tidak adil kepada orang yang
lemah. Jangan berkata, mumpung saya berkuasa, saya akan menindasnya! Bayarlah
apa yang menjadi hak para buruh, pegawai dan pekerjamu sesuai upah yang
seharusnya mereka terima. Jangan bertindak lalim atau sewenang-wenang! Dan
jangan gunakan kekayaan dan kedudukanmu sebagai sarana untuk berbuat dosa dan
kejahatan di hadapan Allah!
Jadilah
pimpinan yang arif dan bijaksana. Jadilah atasan-atasan yang menghormati
hak-hak para bawahan. Ambilah keputusan-keputusan yang bijak dan sesuai dengan
Firman Allah, bukan kemauan diri sendiri. Berikan teladan yang baik, supaya
banyak orang diberkati dan supaya Anda semakin dikasihi oleh Allah dan oleh
para bawahanmu! - yoed’s
sumber gambar: http://kalaliterasi.com
EmoticonEmoticon